DurasiNTB

Lugas & Fakta

Iklan

terkini

Budaya Sejatinya Cermin Peradaban, Wadah Nilai, Moral, dan Identitas Sebuah Bangsa.

Sunday, October 26, 2025, October 26, 2025 WIB Last Updated 2025-10-27T00:32:02Z
Foto Istimewa: Hasan Gauk


Lombok Timur - Budaya lahir dari kearifan, tumbuh bersama etika, dan hidup di tengah masyarakat sebagai pedoman. Namun, apa jadinya jika budaya justru dijadikan tameng untuk menutupi nafsu yang dibungkus seni? Saat panggung hiburan lebih menonjolkan tubuh daripada makna, saat “kebebasan berekspresi” menjadi alasan untuk menyingkirkan batas moral, maka di sanalah kita menyaksikan ironi paling tajam dalam wajah kebudayaan hari ini.


Nama “pelestarian budaya” sering kali digunakan untuk membenarkan tontonan yang jauh dari nilai luhur. Tari yang dulu menjadi simbol kesakralan, kini dipelintir menjadi ajang eksploitasi sensualitas. Musik yang seharusnya menggugah jiwa, berubah menjadi seruan syahwat terselubung. Semua berlindung di balik jargon “kreativitas” dan “ekspresi seni,” padahal yang dipertontonkan adalah komodifikasi tubuh dan hasrat.


Inilah tanda ketika budaya kehilangan ruhnya, ketika seni tak lagi menyentuh rasa, melainkan memuaskan mata dan birahi. Dan yang paling menyedihkan, masyarakat mulai terbiasa, bahkan menormalkan hal itu, seolah kepekaan moral sudah tak lagi relevan di zaman modern.


Kita hidup di masa ketika batas antara ekspresi dan eksploitasi menjadi kabur. Ketelanjangan disebut keberanian, erotisme disebut kebebasan, dan kritik terhadapnya langsung dicap konservatif, kolot, atau anti-seni. Padahal, yang sedang terjadi bukanlah kebangkitan budaya, melainkan komodifikasi syahwat, menjual gairah dengan label budaya agar laku di pasar kapital dan algoritma.


Budaya yang sejatinya lahir dari nilai, spiritualitas, dan kearifan lokal kini direduksi menjadi hiburan murahan. Nilai-nilai luhur seperti kesopanan, penghormatan terhadap tubuh, dan sakralitas simbol budaya pelan-pelan dihapus, diganti dengan narasi palsu tentang “seni tanpa batas.” Di balik jargon itu, ada logika ekonomi dan nafsu konsumsi yang bekerja, bukan logika budaya.


Inilah bentuk kolonialisme baru, tubuh dan moralitas di kolonisasi oleh pasar, sementara budaya dijadikan topengnya. Kita sedang menyaksikan pembusukan nilai di ruang publik yang dibungkus dengan kemasan modernitas.


Sudah waktunya publik lebih kritis terhadap tontonan yang mengatasnamakan budaya tapi menelanjangi martabatnya sendiri. Budaya sejati tidak menstimulasi syahwat, melainkan menggugah kesadaran. Ia bukan panggung untuk nafsu, melainkan cermin untuk jiwa. Ketika budaya kehilangan etikanya, ia berhenti menjadi budaya dan berubah menjadi industri syahwat yang dibungkus moral palsu.


Coretan: Hasan Gauk (Pengusaha Dan Pemerhati  Budaya Lombok).

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Budaya Sejatinya Cermin Peradaban, Wadah Nilai, Moral, dan Identitas Sebuah Bangsa.

Terkini

Topik Populer